Lampu dimatanya masih menyala, masih mencari gelap2 pasrah, berharap dapatkan tatapan yang mendesah.
Ranting2 itu menggetarkan pohonnya, tulus akar memeluk erat, ini, sahabat.
Shubuh yang ke sekian kali, & untuk malam ini, begitu banyak kata yang di ungkapkan diam, dia merasa ramai disaat sepi mulai menginap di kamar2 nafsunya..
Lama tak bersenggama diselangkangan hari, dulu hampir se-ronde, bintang & mentari tak puas, sekarang, coba lagi, bercinta dengan gelap & mentari.
Shubuh yang diam, menari dengan duri2 sepi yang memeluk, air mata jadi suguhan, dalam malam, mabuk akan penantian.
Lama tak bertemu dia dalam mimpi, mungkin dia tak pernah tidur, atau aku tidur dia bangun, sebaliknya barangkali.
Melihat hitam, diam tak bergumam, membuat malam semakin runyam.
Gelap menjerit, seperti rengek-an anak kecil memeluk erat guling ketakutannya, lilin adalah selimut hangat sekasih ibunya.
Cinta tak terbantahkan, lelehan lilin adalah kasih, selalu mengeras kembali, walaupun luka selalu meleburkannya dengan api penghianatan.
Dia yang jatuh cinta dan kecewa pada akhirnya, sekarang menjadi pembunuh yang mengincar 2 buah mata yang membuatnya seperti ini.
Aku titipkan air mataku pada mendung, karena hanya hujan yang mampu membanjiri hatimu yang bisu.
Aku ikan kecil diselokan kecil yang penuh dengan air saat hujan lebat selesai mengguyur, mudah ditangkap anak kecil.
Aku juga sepohon buah ceres yang belum menua, kuat dikala kemarau, mudah ambruk dikala penghujan yang menggila.
Dan aku, terik yang menyengat, serta benih kecil yang tak berdaya pada banjir.
Pengakuan itu seharusnya, seperti titik-titik air yang turun dari awan yang kelam.
Dia pun berlari dengan awan sebagai pijakannya. Sayapnya patah.
Tiada sinar seterang dua bola mata kekasihnya. Dia lagi jatuh cinta.
Makan, tidur, semuanya sulit dilakukan. Cinta mengalahkan naluri manusiawi.
Tiada luka se-perih perpisahan. Dia berkabung, hatinya mendung.
Benci mengalahkan segala emosi. Dia dikhianati. Dendam merajam.
Dingin yang merasuk bersama tetes-tetes embun yang menetes bersama airmata. Tetaplah teringat apa yang membuat luka itu tetap menganga. Aku tidur, tapi hati tidak.
Kunang2 tak mampu brsinar malam ini, dia meminjam redup kelam paling terang dari seorang yg berbahagia, mungkin.
Detak kesunyian sejenak berhenti, menganga melihat airmata merampas tawa, tiada gelak, semua terenggut jiwa yang pagut.
Kesedihan itu sakti, dia yang mampu berdiri diatas airmata.
Lonceng berlari, memunggungi dering yang mengering. Seperti airmata kebahagiaan.
Aku tak tidur semalaman, karena mimpi adalah taman yang kerap kau datangi. Aku tak mau lagi cinta, enggan bermimpi, lagi. Kau yang kuhindari.
Senja membangunkan aku, dengan kemuning termesranya, tapi maaf aku tak cinta kau lagi senja, malam lebih lembut, menciumiku hingga membasahi seluruh jiwaku.
Aku menunggu malam seperti menunggu kekasih, yang tulus menelanjangiku dengan kecupan yang membasah kuyupkan jiwaku.
Cintanya nafsu, seperti bayu yang terbang menggebu, semua disapu, meski tatapan termelas menyorot minta ampun.
Langit jatuh cinta, bukan hangat rembulan, bukan riang seterang sinar, tapi pada dada rembulan, yang terpeluk nyaman.
Bulan terlihat seksi, bukan sabit yang melegit, bukan purnama yang selalu ada. Tapi bulan memakai rok mini, awan dibawahnyapun jatuh cinta.
Cinta bukan api, tapi zat panas sewarna senja yang mampu membakar jiwa.
Kau datang dimataku, bercengkrama dikupingku, lalu beranak pinak diluka-luka masa laluku, kau bunuh. Dan kau pun ikut membusuk, menular diluka lama. Lalu mati. Cinta.
Jantungku berdering, gemetar menari, aku tempatkan cinta disana, karena hatiku sudah mati.
Bagi bintang, rembulan adalah kasih sayang dan malam adalah peraduan hangat dalam pelukan.
Cinta, belai lembut yang sepoi, tatapan sehangat rembulan, dan kesetiaan ombak pada lautnya.
Cinta, embun bagi para gurun2, sekelopak bagi para kaktus2, terang bagi para gulita. cinta, bagimu apa?
Cinta, tiada mengenal senja, pagi menjadi jam mati bagi penikmatnya.
Cinta, setara es batu di swiss, melenggangkan kemarau yang mematikan, mungkin.
Cinta, mampu melawan mata seberat gunung, hanya untuk melihat kehangatannya, mengucapkan kata cinta.
Sabtu, hari yang indah, hari yang pernah mempersatukan kita, kau kini melenggang pergi, bersama sabtu yang lain.
Di hari fucklintine, aku berikan bunga jalan, untuk cintamu yang selamat jalan.
Di hari fucklintine, coklat untukmu tertinggal, untuk cintamu yang selamat tinggal.
Di hari fucklintine, aku enggan pergi, karena cintamu melenggang pergi.
Aku tiduri ciuman mu, dibawah 14 langit biru.
Semacam perasaan lega, karena tak bersua dimimpi, nyata cintamu tak lagi kuharapkan.
Aku masih mencintaimu, sebagai luka yang mendendam.
Pagi ini sama dengan pagi yang kau tawarkan(dulu), hanya tak ada lagi kurasakan embun menitik sejuk menghangatkan jiwa, seperti gerimis yang menjejakkan pelangi untuk langit cintanya.
Kau hebat, air matamu mengalir untuknya yang membasah kuyupkan baju dan dadaku. Manis.
Dan aku pun tak tahu akan hal yang kau sembunyikan padaku saat itu.
Gelap kesepianku tengadah pada gemerlapnya bintang, seperti gemericik airmata langit yang terlupakan karena pelangi menghapusnya.
Kau taruh pisau di matamu, dan dengan gairah aku ciumi airmatamu.
Temaram senja selalu menungguku, seperti kepedihan.
Sunyi malam menggelintirkan hatiku pada padang langitmu, disana aku tertusuk bintang rindumu.
Dalam hatiku taman bungamu, kau renggut semua mekar, kau tanggalkan durinya. Sempurna.
Aku daun rindu yang teranggas, gugur satusatu tertiup angin luka.
Rindu Temaram sinar rembulan, serupa samudra tak berombak, aku yang pasirnya nyaris tak tersentuh.
Aku gagahi kesepian ini, penuh birahi. Sejak kau merenggang dan langgang.
Pagi itu coklat, pernah kulahap lezat, denganmu.
Senja itu tamparan, seperti perpisahan, pahit.
Malam seperti kenangan, yang memaksaku untuk bermimpi dalam angan, memilikimu.
Kau air laut, perih saat mataku mencium mu.
Saat bulan menyentuh purnama, disana kepedihanku semakin nyaman terlentang, bersama kemuning peraduannya yang ranum.
Kau tak pernah mendengar kepedihan ini dinyanyikan rembulan, kau di siang yang esok.
Ku ingin sendiri, kata guguran daun pada ranting yang tak lagi sanggup menciumnya.
ku tahu ku yang kedua, kata udara pada siang yang memeluk pohon.
Kepedihan mencintaiku, seperti air mata yang mencintai baju.
Luka pengkhianatan cinta akan selalu basah, seperti lidah.
Penantian cinta abadi adalah seonggok batu besar yang memeluk airmata.
Saat terik semakin ranum, gelap sunyi mulai menjejaki kepedihan, sinar rembulan takkan mampu memeluk gulita. Aku.
Kau seperti rujak pedas, manis tapi buat mules hatiku.
Hujan telantarkan rinduku, pada lemahmu yang kau injak.
Kerinduanku tak terbalas, serupa air hujan pada kaktus. Sedikit.
Kembali mencintai luka, serupa sepohon mawar tak berkelopak. Kamu.
Aku bulir-bulir pasir yang mengalir dalam getir, cintamu.
Rindangnya airmata kepedihan, tempat luka lelap berteduh. Aku.
Perpisahan sudah memprasastikan jejaknya, percuma kau menjerit, kau takkan mampu meruntuhkannya, rindumu kini nisan.
Kau ciumi aku sampai basah kuyup, dan itu membuat lukaku semakin menganga, karena kemudian kau melenggang pergi.
Aku menapaki kepedihan sendirian, tanpa tau tempat pulang, karena hatimu tak teralamatkan lagi dihatiku.
Saat kerinduan dan luka berpagut, aku telah berpendar dalam ketidak pastian, dustamu terlalu dalam.
Malam terasa lebih larut, saat perasaan kalut yang membelut.
Sajak2 ini sudah terlanjur terluka, langit mata tak henti2nya hujan, membasahi dada, dan luka semakin menganga.
Kepedihanku tengadah pada pagi, menyambut ufuk yang merampas malam kita, dulu.
Mataku sayup, lukaku semakin kuyup, basah karena dustamu.
Rabu, 02 Maret 2011
Langganan:
Komentar (Atom)
